Pertanyaan dari Nisa Dwi Rahmayanti, Mahasiswa, di Samarinda

Question

Bagaimana kita memastikan bahwa perbankan syariah sudah mengimplementasikan akad-akad syariah secara tepat? Karena banyak masyarakat yang menganggap akad yang ada di bank konvensional maupun bank syariah itu tidak terdapat perbedaan

Answer

Dalam beberapa hal, bank syariah dan konvensional memiliki persamaan. Terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi yang digunakan dan syarat-syarat umum untuk memperoleh pembiayaan. Akan tetapi, terdapat perbedaan mendasar di antara bank syariah dan konvensional yang perlu kita ketahui, seperti aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, orientasi bisnis dan corporate culture.

Perbedaan tersebut sebagaimana terperinci pada point-point berikut:

1. Sisi landasan regulasi
   Bank syariah selain berpegangan kepada regulasi berupa Undang-Undang, peraturan bank Indonesia, peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan terkait lainnya turut berpedoman kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Hal ini dikarenakan bank syariah menjalankan prinsip syariah. Sehingga ini yang menyebabkan bank konvensional tidak berpedoman kepada fatwa DSN-MUI.
2. Sisi akad
   Bank syariah menjalankan operasional dengan prinsip bagi hasil, jual beli, sewa menyewa dan akad-akad jasa lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan bank konvensional menjalankan operasional dengan sistem pinjam-meminjam uang dengan sistem bunga.
3. Sisi investasi
   Bank syariah hanya boleh menyalurkan investasi kepada sektor atau usaha yang diperbolehkan menurut syariah (usaha yang halal dan thayyib). Sedangkan bank konvensional memiliki kebebasan investasi tanpa memperhatikan prinsip syariah. Contohnya bank syariah tidak bisa membiayai perusahaan rokok, perusahaan minuman keras, diskotik atau sejenisnya yang dilarang oleh syariat Islam.
4. Orientasi bisnis
   Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat selain memiliki tujuan mendapatkan keuntungan (profit oriented) juga memiliki tujuan untuk meraih kebahagian akhirat (falah oriented). Sedangkan bank konvensional hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
5. Struktur
   Bank syariah karena menjalankan prinsip syariah maka wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS memiliki tugas dan fungsi untuk memastikan seluruh aktivitas dan produk bank syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan bank konvensional tidak memiliki DPS.
6. Hubungan
   Hubungan antara bank dan nasabah pada bank syariah tergantung dari akad yang digunakan. Misalnya, sebagai mitra dalam akad bagi hasil pendanaan (funding) dimana nasabah berperan sebagai sohibul maal (pemilik dana) dan bank syariah sebagai mudharib (pengelola dana). Penjual dan pembeli, bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli seperti dalam produk KPR syariah. Penyewa dan pemberi sewa seperti dalam produk multijasa (ijarah). Sedangkan dalam bank konvensional hubungan nasabah dan bank adalah kreditur dan debitur saja.

Pertanyaan dari Liiza Diana Manzil, Strategi Literasi dan TIK, di Pasuruan

Question

Bagaimana cara mengedukasi dan meningkatkan inklusi masyarakat muslim untuk hijrah ke perbankan syariah?

Answer

ALAMI menyadari rendahnya literasi keuangan syariah di Indonesia, sehingga hal ini menghambat akses terhadap keuangan syariah. Yang dapat kita lakukan saat ini adalah mengajak masyarakat untuk berhijrah dengan menunjukkan manfaat dan keunggulan-keunggulan dari perbankan syariah. Apabila ingin menginisiasi proses belajar-mengajar, maka pastikan kita dapat belajar dari sumber yang terpercaya dengan kapabilitas yang baik khususnya terkait dengan keuangan syariah. Misalnya dengan cara membentuk sebuah komunitas kajian dengan sesama kawan-kawan yang memiliki objektif yang sama, yaitu belajar keuangan syariah. Komunitas kajian tersebut dapat mengundang ahli-ahli keuangan syariah untuk memberikan edukasi mengenai keuangan syariah.

Untuk membantu masyarakat dalam berhijrah, ALAMI menghadirkan ALAMI Institute untuk meningkatkan literasi melalui berbagai program edukasi yang dapat diakses secara gratis melalui website ini. Program edukasi yang diberikan dapat berupa artikel, video maupun webinar. Seluruh program ini diberikan secara periodik dengan topik yang beragam. Selain itu, ALAMI juga hadir di berbagai media sosial untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar dapat berhijrah ke keuangan syariah.

Pertanyaan dari S, Pegawai Swasta, di Lampung

Question

Bagaimana perhitungan zakat untuk aset (uang) yang diputar di instrumen P2P? Karena pada dasarnya asset (uang) tersebut tidak saya timbun, tapi dipergunakan untuk memberikan modal kepada beneficiary.

Answer

Syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:

1. Dimiliki secara sempurna (milkut taam) oleh muzaki (orang yang wajib zakat).
2. Telah sampai kepada nisab (batas minimal yang harus dizakati).
3. Harta tersebut telah mengendap selama satu haul (1 tahun). Jika telah memenuhi nisab namun belum mengendap selama 1 tahun, maka tidak masuk kategori wajib zakat.
4. Memiliki kategori numuw (berpotensi untuk tumbuh dan bekembang).

Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, maka orang tersebut telah wajib zakat.

Untuk perkara zakat maal, yang dalam hal ini adalah harta/uang yang dipersamakan dengan emas, maka nisab nya adalah setara 85 gram emas. Jika diasumsikan bahwa 1 gram emas = Rp 1 juta, maka nilai totalnya adalah sekitar Rp 85 juta.

Namun nilai Rp 85 juta ini harus tetap dan tidak berkurang jumlahnya dari batas minimal atau nisab. Serta terus tumbuh tanpa mengurangi batas minimal yang harus dizakati.

Dari pertanyaan tersebut, maka yang dapat menilai apakah harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya atau tidak hanyalah sang penanya dengan berpatokan pada 4 parameter di atas. Jika parameter tersebut terpenuhi, maka kewajiban menunaikan zakatnya adalah sebesar 2,5%.

Pertanyaan dari Ihsanul Huda, Wiraswasta, di Bogor

Question

Bagaimana status akad wakalah pada akad murabahah di bank syariah? Karena akad wakalah dilakukan untuk menjamin kemanan pihak perbankan, atas dasar apa wakalah dilakukan, sementara dalam jual belinya belum dilakukan akad murabahah?

Answer

Hukum asal dalam bermuamalah adalah boleh, alias tidak ada larangan.

Wakalah adalah salah satu bentuk akad pemberian kuasa. Dalam fiqh maupun KUH Perdata, pemberian kuasa dari satu pihak kepada pihak lain dibolehkan dengan kejelasan apa yang dikuasakan dan penerima kuasa mampu untuk menjalankan kuasa.

Pemberian kuasa dalam perbankan syariah dilakukan dari pihak bank kepada nasabah untuk pembelian barang bank, hal tersebut justru harus dilakukan sebelum akad murabahah dilakukan. Jika akad murabahah dilakukan sebelum ada barang, justru akadnya menjadi batil. Sebab barang belum ada.

Rasulullah SAW bersabda, “Jangan menjual apa yang kamu belum miliki.”

Tambahan: Kesalahan yang sering terjadi di industri perbankan syariah justru adalah melakukan akad murabahah sebelum pembelian barang. Seharusnya perwakilan pembelian barang dilakukan terlebih dahulu, kemudian melakukan akad murabahah setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

Pertanyaan dari A, Pegawai Swasta, di Jakarta

Question

Bagaimana cara menghindari riba pada KPR rumah?

Answer

Untuk menghindari riba dalam KPR, gunakan produk KPR dari lembaga keuangan syariah (LKS). Karena di LKS terdapat Dewan Pengawas Syariah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh transaksi, termasuk produk KPR syariah, sesuai dengan prinsip syariah. Sehingga tidak perlu ragu untuk menggunakan LKS sebagai solusi bagi pembiayaan kepemilikan rumah.

Pada prinsipnya LKS tidak memberikan pinjaman dalam produk KPR syariah. Sedangkan, kemungkinan terkena riba dapat terjadi pada akad hutang piutang. Sehingga, kita perlu memastikan bahwa KPR syariah yang dilakukan telah sesuai dengan akad syariah.

Fasilitas yang diperoleh dari lembaga keuangan untuk KPR syariah bukan merupakan skema pinjam meminjam uang, namun terdapat 4 skema syariah yang dapat dilakukan, yaitu:

Murabahah (jual beli)

Murabahah merupakan akad jual beli yang dilakukan antara lembaga keuangan dengan calon nasabah. Dalam akad ini perlu dipastikan bahwa lembaga keuangan telah melakukan pembelian rumah terlebih dahulu kepada developer atau penjual rumah, yang kemudian akan dijual kepada calon nasabah dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.

Akad istishna (jual beli pesanan)

Istishna merupakan akad jual beli yang dilakukan dalam bentuk pesanan. Umumnya akad ini dilakukan apabila rumah yang ingin dibeli belum tersedia dan memerlukan waktu untuk pembangunan. Calon nasabah dalam hal ini akan memiliki kesepakatan dengan lembaga keuangan terkait dengan spesifikasi rumah, waktu penyerahan, serta harga yang disepakati.

Akad ijarah muntahiyah bi tamlik

Ijarah muntahiyah bi tamlik merupakan akad sewa beli pada KPR syariah, di mana kita sebagai calon nasabah akan “menyewa” rumah yang ingin dibeli hingga periode tertentu. Di akhir periode sewa, status kepemilikan akan beralih menjadi milik calon nasabah.

Akad musyarakah mutanaqisah (MMQ)

MMQ merupakan akad kongsi, dimana lembaga keuangan dan calon nasabah akan berkongsi (patungan) untuk melakukan pembelian rumah. Rumah tersebut kemudian akan disewakan kepada calon nasabah atau pihak lain. Pendapatan hasil sewa tersebut akan digunakan untuk mengurangi porsi kepemilikan bank hingga waktu yang disepakati. Pada akhirnya porsi kepemilikan sepenuhnya akan beralih ke calon nasabah.

Pertanyaan dari S, Pegawai swasta, di Bandung

Question

Saya ingin bertanya terkait hukum bekerja di perusahaan software house yang memiliki client dari perbankan. Di awal sebelum tanda tangan kontrak, saya sudah mention terkait concern saya untuk tidak ingin terlibat pada proyek yang terkait perbankan ataupun transaksi keuangan yang mengandung riba. Perusahaan sudah setuju, tapi di sisi lain saya bingung karena secara cash flow perusahaan, sumber penghasilan saya sama meskipun tidak terlibat dalam proyek tersebut. Bagaimana menyikapinya?

Answer

Bismillaah, walhamdulillaah, wassholaatu wassalaam 'alaa Rasuulillaah wa 'alaa aalihi wa shohbihi ajma'iin, amma ba'du,

Saudara/iku yang dimuliakan Allah..

Sikap Anda yang tidak ingin terlibat pada proyek yang terkait perbankan ataupun transaksi keuangan yang mengandung riba adalah benar. Karena sudah jelas bahwa bunga yang ada pada perbankan konvensional adalah riba yang haram. Sebab sejak 2004 lalu MUI telah mengeluarkan fatwa haramnya bunga bank.

Sikap Anda menyampaikan tidak ingin terlibat pada proyek yang terkait perbankan ataupun transaksi keuangan yang mengandung riba sejatinya adalah bagian dari mencegah kemungkaran dari perusahaan Anda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

"Tolonglah saudaramu baik ia zalim atau dizalimi." Ada seorang laki-laki bertanya: "Ya Rasulullah, saya maklum jika ia dizalimi, namun bagaimana saya menolong padahal ia zalim?" Nabi menjawab: "Engkau mencegahnya atau menahannya dari kezaliman, itulah cara menolongnya." (HR. Bukhari No. 6952)

Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

"Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah ia mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR. Muslim No. 49)

Namun Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI juga telah sejak lama merilis banyak fatwa untuk lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah. Jadi, kalau yang dilayani oleh perusahaan software Anda adalah bank syariah, maka in syaa Allah Anda tidak perlu khawatir dengan pendapatan Anda.

Adapun jika perusahaan Anda itu bekerja sama dengan bank konvensional, maka hal itu termasuk tolong menolong dalam dosa yang dilarang oleh Allah. Karena berbisnis dengan yang dilarang, maka pendapatannya dalam proyek ini haram. Jadi, pendapatan perusahaan Anda bercampur, ada pendapatan halal dari proyek-proyek lain dan ada pendapatan haram dari proyek dengan bank konvensional ini.

Dari deskripsi yang Anda sebutkan, kami pahami bahwa mayoritas proyek lainnya aman. Yang jadi concern Anda hanya satu proyek kerja sama dengan bank konvensional ini. Dalam satu kaidah fiqhiyyah disebutkan:

إن للأكثر حكم الكل

“Sesungguhnya untuk kebanyakan (mayoritas) itu berlaku hukum seluruhnya.”

Maka, selama Anda telah berusaha sampaikan concern Anda tidak mau terlibat dengan perbankan ribawi dan Anda juga tidak bekerja secara langsung di proyek tersebut, insyaa Allah tidak mengapa. Namun yang kami sarankan adalah agar Anda keluarkan sekian persen dari pendapatan Anda untuk dana sosial selama proyek dengan bank konvensional itu berjalan, niatkan mengeluarkan jika ada harta riba pada pendapatan Anda.

Allahu A'lam.

Demikian saudara/iku, mudah-mudahan menjawab pertanyaan Anda. Semoga senantiasa dalam rahmat dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala..

Dijawab oleh  Ahmad Bilal Almagribi

Pertanyaan dari H, Pengawai Swasta, di Malang

Question

Bagaimana hukum berinvestasi ke perusahaan terbuka melalui pasar saham? Apabila dibolehkan, bagaimana tata caranya agar sesuai hukum syariah?

Answer

Investasi saham diperbolehkan, selama saham yang diperjualbelikan adalah saham syariah via sharia online trading system (SOTS) agar terhindar dari praktik-praktik terlarang dalam bursa, sebagaimana diatur di fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Standar Syariah Internasional AAOIFI.

Ada dua jenis saham syariah yang diakui di pasar modal Indonesia, yaitu saham yang dinyatakan memenuhi kriteria seleksi saham syariah (berdasarkan Peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah) dan saham yang dicatatkan sebagai saham syariah oleh emiten atau perusahaan publik syariah (berdasarkan Peraturan OJK Nomor 17/POJK.04/2015) yang dimasukkan ke dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh OJK secara berkala, setiap Mei dan November.

Ketentuan transaksi saham diatur dalam Fatwa DSN No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan prinsip syariah dalam mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Bursa Efek.

Dalam fatwa tersebut, dinyatakan bahwa jual beli saham dengan tujuan spekulasi tidak diperkenankan. Kriteria spekulasi lebih lanjut dijelaskan seperti transaksi short selling, front running, wash sale trade, pump and dump, menciptakan permintaan/penawaran palsu, dan marking at the close.

Pertanyaan dari Anonim, Pengawai Swasta

Question

Bagaimana hukum berinvestasi emas? Contohnya seperti beli dengan harga Rp. 900 ribu dan dijual dengan harga yg lebih tinggi. Apakah ini termasuk dengan riba?

Answer

Terima kasih atas pertanyaannya. Investasi emas insya Allah tidak masalah sepanjang transaksi yang dilakukan sesuai dengan penjelasan kami kemarin terkait riba al-fadhl, karena emas masuk ke dalam kategori komoditas ribawi yang disebutkan di dalam hadits Rasulullah SAW. Apabila sampai terjadi pertukaran emas, maka harus diperhatikan takaran dan waktu pertukarannya. Takaran (berat dan volume) harus sama dan waktu pertukarannya harus di tempat yang sama.

Selama emas dan uang senilai Rp. 900 ribu rupiah diserahkan di waktu bersamaan, maka transaksi pertama bebas riba. Jika kemudian setelah beberapa bulan emas tersebut kembali dijual dengan harga lebih murah atau lebih mahal, dengan syarat emas dan uangnya diserahkan di majelis akad yang sama, tidak ditunda, maka juga terbebas dari riba.

Pertanyaan dari Anonim, Pengawai Swasta

Question

Apakah membayar zakat profesi dapat dilakukan tiap bulan agar tidak besar di akhir, atau tetap harus menunggu haul?

Answer

Terima kasih atas pertanyaannya. Pada dasarnya seorang muslim tidak wajib berzakat maal (harta), terkecuali sampai nishab (jumlah harta senilai sekitar 85 gram emas / kurang lebih 85 juta rupiah) dan haul (mengendap selama 1 tahun).

Kami akan berikan contoh kasus untuk memudahkan. Misalnya, seseorang muslim punya harta simpanan 15 juta dan ia memiliki gaji bulanan sebesar 5 juta rupiah. Maka total gajinya selama setahun 5 x 12 = 60 juta. Jika ditambah harta simpanannya yang 15 juta, totalnya masih 75 juta rupiah, maka sejatinya ia belum wajib zakat. Itupun dalam keadaan gaji belum dipotong keperluan konsumsi untuk dirinya dan keluarga. Sejatinya zakat hanya dihitung dari sisa konsumsi yang mengendap selama setahun dan sampai batas minimal, bukan total gaji bersih. Mewajibkan zakat kepada yang tidak/belum wajib zakat adalah kezaliman. Namun jika tetap dilakukan, insya Allah seorang muslim yang membayarkannya mendapat pahala sedekah.

Berkaitan dengan zakat profesi atau yang dibayar secara bulanan, jika memang total simpanan dan sisa gaji selama setahun masih lebih dari nishab (± 85 gram emas), maka diperkenankan membayar zakat secara bulanan mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya.

Adapun yang lebih hati-hati dan lebih memudahkan dalam perhitungan serta tidak menzalimi muslim tersebut sendiri adalah dengan membayarnya tatkala harta yang mencapai nishab benar-benar juga telah tertahan selama satu tahun (haul).

Pertanyaan dari Anonim, Pengawai Swasta

Question

Apakah kita berdosa jika tidak menagih utang bagi peminjam yang tidak mau membayar utangnya?

Answer

Terima kasih atas pertanyannya. Apabila si peminjam tersebut tidak membayar karena memang kesulitan untuk membayar, maka ada dua hal yang dapat dilakukan yang disebutkan di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 280. Pertama, dengan menangguhkan pembayaran hingga dia memperoleh kelapangan. Kedua, dengan mengikhlaskan. Disebutkan pada ayat tersebut bahwa mengikhlaskan ini lebih baik jika kita mengetahuinya.

Transaksi utang-piutang di dalam Islam, pada dasarnya adalah kegiatan berderma. Karena di dalam satu hadits Rasulullah SAW bersabda:

“Bersedekah dibalas sepuluh kali, dan memberikan utang dibalas delapan belas kali”.

Namun, perlu diperhatikan juga apabila kita menjadi seseorang yang berutang, maka utang tersebut menjadi kewajiban bagi kita untuk dilunasi. Apabila ada niat untuk buruk untuk tidak membayarnya, maka ada peringatan dari Rasulullah SAW terkait ini:

”Siapa yang berutang dan dia bertekad untuk membayarnya maka niscaya Allah ta'ala akan memudahkannya untuk melunasi utangnya. Dan siapa yang berutang tidak bertekad untuk membayar utangnya niscaya Allah akan membinasakannya”.

Etika seseorang untuk membayar utang menurut Rasulullah SAW adalah:

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian utang”.

Oleh karena itu Rasulullah SAW mencontohkan untuk mengembalikan utang dengan yang lebih baik. Mengenai hal yang ditanyakan, sang pemberi utang insya Allah tidak berdosa sebab tidak menagih piutangnya. Apalagi ia sendiri sudah mengikhlaskannya.

Pertanyaan dari Anonim, Pengawai Swasta

Question

Terkait tambahan dalam pengembalian utang, bagaimana jika tidak disebutkan di awal akad? Hanya tanda terima kasih penerima utang tanpa permintaan pemberi utang, contohnya seperti mentraktir makan siang atau segelas kopi

Answer

Terima kasih atas pertanyaannya, terkait dengan adanya tambahan yang dipersyaratkan atas pengembalian utang para ulama sepakat maka hal tersebut adalah riba.

Namun apabila kondisinya tambahan dalam pengembalian utang tidak menjadi persyaratan dan merupakan tanda terima kasih hal ini diperbolehkan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau pernah meminjam dari seseorang unta yang masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya lebih baik).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab, “Berikan saja unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi utangnya.” (HR. Bukhari, no. 2392 dan Muslim, no. 1600).

Pertanyaan dari Ahmad Hidayatullah, Pegawai swasta, di Jakarta

Question

Selain bank syariah dan fintech syariah, di dalam industri jasa keuangan syariah juga ada yang namanya asuransi syariah baik jiwa maupun umum. Nah, kira-kira bagaimana sinergi jasa keuangan syariah juga bisa melibatkan asuransi syariah sehingga bisa tercipta sebuah ekosistem industri keuangan syariah yang kuat? Terutama menuju digitalisasi keuangan syariah. Karena dalam prakteknya, produk pembiayaan syariah erat kaitannya dengan asuransi syariah sebagai bentuk mitigasi risiko pembiayaan. Terima kasih.

Answer

Bismillaah, walhamdulillaah, wassholaatu wassalaam 'alaa Rasuulillaah wa 'alaa aalihi wa shohbihi ajma'iin, amma ba'du,

Saudaraku yang dimuliakan Allah..

Kolaborasi antar lembaga keuangan syariah baik antar bank dan non-bank sangat diperlukan untuk membangun ekosistem industri keuangan syariah. Penggunaan asuransi syariah sendiri pada produk-produk pembiayaan perbankan syariah bahkan menjadi salah satu prasyarat pemberian pembiayaan untuk melakukan mitigasi terhadap potensi risiko.

Di Fintech sendiri, pada dasarnya berdasarkan ketentuan regulasi bahwa jika terdapat kerugian dalam investasi maka risiko pembiayaan ditanggung oleh pemberi pendanaan (funder), bukan penyelenggara (fintek). Hal ini harus dicermati dan disadari oleh setiap pemberi pendanaan (funder) bahwa segala bentuk investasi memiliki risiko dan keuntungan diperoleh karena menanggung risiko. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallalhu Alaihi Wasallama bersabda:

الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Manfaat (yang diperoleh oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko”.

Namun demikian, dalam rangka mitigasi risiko, biasanya pihak penyelenggara (fintek) melakukan kerjasama dalam rangka mitigasi risiko terhadap dana yang disalurkan ke pembiayaan.

Allahu A'lam.

Demikian saudara/iku, mudah-mudahan menjawab pertanyaan Anda. Semoga senantiasa dalam rahmat dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala..

Dijawab oleh Zuel Fahmi

Pertanyaan dari Nurmantiaz,Wiraswasta Pegawai swasta, di Pariaman

Question

Bagaimana pandangan Islam mengenai perusahaan afiliasi sebagai media perdagangan mata uang virtual yang memberikan fasilitas pendidikan cryptocurrency dan proses perdagangannya?

Answer

Bismillaah, walhamdulillaah, wassholaatu wassalaam 'alaa Rasuulillaah wa 'alaa aalihi wa shohbihi ajma'iin, amma ba'du,

Saudara/iku yang dimuliakan Allah..

Sebelum kami menjelaskan pandangan syariah terhadap perusahaan afiliasi yang menjadi media pendidikan atau perdagangan crypto, maka kita fahami terlebih dahulu pengertian crypto itu sendiri agar gambaran tentang crypto menjadi jelas.

Pengertian Cryptocurrency

Crypto adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara pembelian, transfer pemberian (reward) atau proses menghasilkan sejumlah crypto baru, melibatkan matematika yang rumit (mining).

Ada dua jenis crypto, yakni crypto sebagai aset sebagaimana diperdagangkan di bursa berjangka dan crypto sebagai alat pembayaran.

Takyif Fiqh dan Hukum Crypto

Berdasarkan tasawwur (gambaran) tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa jenis dan hukum crypto sebagai berikut:

Pertama, Crypto sebagai Aset.

Kita ketahui bersama bahwa otoritas di Indonesia telah mengizinkan perdagangan Crypto sebagai aset seperti Bitcoin di bursa berjangka sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tentang Penetapan Daftar Aset Crypto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Crypto.

Walaupun perdagangan fisik aset Crypto dapat diperdagangkan di pasar fisik aset Crypto di Indonesia karena sudah memiliki kepastian dan ketentuan hukum, namun belum terdapat fatwa yang dikeluarkan dari otoritas fatwa (DSN) terkait kesesuaiannya dengan syariah namun telah dibahas dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9-11 November 2021 di Jakarta dengan hasil pembahasan diantaranya:

1. Crypto sebagai komoditi/aset digital tidak sah (haram) diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah (barang) secara syar’i, yaitu: ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.
2. Crypto sebagai komoditi/aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah (barang) dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas hukumnya sah (mubah) untuk diperjualbelikan.

Kedua, Crypto sebagai Alat Pembayaran.

Dari sisi regulasi hingga saat ini Crypto tidak dikategorikan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia karena tidak diterbitkan oleh otoritas (Bank Indonesia). Begitu pula sebagian ahli fikih mensyaratkan alat pembayaran (uang) itu harus memenuhi 2 (dua) kriteria yakni:

1. Diterima oleh masyarakat luas
2. Diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.

Hal tersebut selaras dengan definisi uang yang disampaikan oleh Sulaiman Al Mani dalam kitab Buhuts Fi Al Iqtishad Al Islami.

النَّقْدُ هُوَ كًلُّ وَسِيْطٍ لِلتَّبَادُلِ يَلْقَى قَبُوْلاً عَامًّا

“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum”

Demikian juga pengertian uang yang disampaikan oleh Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam kitab Al Mu’amalat Al Ma’liyah.

النَّقْدُ : مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوِ الْأَوْرَاقِ الْمَبْطُوْعَةِ وَ نَحْوِهَا, الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَةِ صَاحِبَةِ الْإِخْتِصَاصِ

“Naqd (Uang) adalah sesuatu yang dijadikan harga oleh masyarakat baik terdiri aras logam ataupun kertas yang dicepak maupun dari bahan lainnya yang diterbitkan oleh Lembaga Keuangan pemegang otoritas”.

Dengan demikian Crypto bukan termasuk kategori uang karena belum memenuhi unsur alat pembayaran yang sah yakni harus diterbitkan oleh otoritas dan memiliki underlying asset dengan fluktuasi harga yang dikendalikan oleh otoritas. Terlebih dengan potensi tempat pencucian uang, kenaikan sangat fluktuatif/tidak wajar, sarat dengan spekulatif dan ketidakjelasan.

Dalam Fikih, ketidakjelasan tersebut disebut gharar yang dilarang berdasarkan hadits Rasulullah Saw,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah Saw melarang jual beli (yang mengandung gharar.” (HR Muslim)

Di samping itu, tidak dilindungi oleh otoritas bisa mendatangkan dharar (merugikan) yang harus dihindarkan, sehingga tidak ada perlindungan bagi konsumen. Sehingga dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 dihasilkan keputusan bahwa:

“Penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran (mata uang) hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015”.

Hukum Perusahaan Yang Menjadi Afiliasi Crypto

Sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa crypto memiliki 2 aspek hukum, ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang (haram).

Dalam Al-Qur’an Surah Al Maidah ayat : 2 disebutkan bahwa;

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Demikian juga dalam kaidah dijelaskan;

لِلْوَسَئِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ

“Hukum sarana (perantara) suatu perbuatan sama dengan hukum perbuatannya”

Sehingga, hukum menjual atau menjadi perusahaan yang menjadi perantara pun hukumnya terbagi menjadi 2 (dua). Terhadap crypto yang masuk kategori diperbolehkan maka memiliki usaha crypto jenis ini atau menjadi afiliasi dan/atau perantaranya juga diperbolehkan atau halal.

Demikian juga sebaliknya, jika menjual crypto yang dihukumi haram, maka menjual ataupun menjadi afiliasi dan/atau perantara terhadap sesuatu yang haram maka hukumnya haram.

Para ulama kontemporer yang tergabung di "Majma" Fuqaha' bi Amrika" yakni perkumpulan pakar fikih di Amerika dalam konferensi ke-V di Bahrain pada tahun 1428 H merumuskan kaidah dalam hal tolong-menolong dalam hal yang dilarang (maksiat) menjadi 4 (empat);

1. Mubasyarah Maqshudah (langsung dan ditujukan untuk maksiat), seperti seseorang yang memberikan khamr kepada orang lain dengan tujuan untuk diminum, hukum jenis ini adalah haram.
2. Mubasyarah ghair Maqshudah (langsung tapi tidak ditujukan untuk maksiat), seperti menjual barang haram yang tidak ada kegunaannya untuk hal yang mubah, sekalipun tujuannya bukan untuk menolongnya berbuat maksiat, hukum jenis ini adalah haram. Seperti menjual rokok. 
3. Maqshudah ghair Mubasyarah (ditujukan untuk maksiat tapi tidak langsung), seperti seseorang yang memberikan orang lain uang agar dia membeli khamr, hukum jenis ini juga haram.
4. Ghair mubasyarah wa la maqshudah (Secara tidak langsung dan tidak dimaksudkan untuk maksiat), seperti seseorang yang menjual barang yang dapat digunakan untuk perbuatan yang halal dan juga dapat digunakan untuk perbuatan yang haram dan penjual tidak bermaksud untuk membantu pengguna dalam perbuatan yang haram. Seperti menjual buah anggur – yang bisa digunakan untuk kebaikan, yaitu untuk makan dan juga bisa digunakan untuk membuat khamr yang memabukkan dan ini berdosa – kepada orang-orang biasa yang bukan pembuat khamr dan juga bukan pemasok bahan baku pabrik minuman keras. Ini adalah hukum halal.

Wallahu a’lamu Bish Shawab

Demikian saudara/iku, mudah-mudahan menjawab pertanyaan Anda. Semoga senantiasa dalam rahmat dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala..

Dijawab oleh Zuel Fahmi