Pertanyaan dari Nurmantiaz,Wiraswasta Pegawai swasta, di Pariaman
Question
Bagaimana pandangan Islam mengenai perusahaan afiliasi sebagai media perdagangan mata uang virtual yang memberikan fasilitas pendidikan cryptocurrency dan proses perdagangannya?
Answer
Bismillaah, walhamdulillaah, wassholaatu wassalaam 'alaa Rasuulillaah wa 'alaa aalihi wa shohbihi ajma'iin, amma ba'du,
Saudara/iku yang dimuliakan Allah..
Sebelum kami menjelaskan pandangan syariah terhadap perusahaan afiliasi yang menjadi media pendidikan atau perdagangan crypto, maka kita fahami terlebih dahulu pengertian crypto itu sendiri agar gambaran tentang crypto menjadi jelas.
Pengertian Cryptocurrency
Crypto adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara pembelian, transfer pemberian (reward) atau proses menghasilkan sejumlah crypto baru, melibatkan matematika yang rumit (mining).
Ada dua jenis crypto, yakni crypto sebagai aset sebagaimana diperdagangkan di bursa berjangka dan crypto sebagai alat pembayaran.
Takyif Fiqh dan Hukum Crypto
Berdasarkan tasawwur (gambaran) tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa jenis dan hukum crypto sebagai berikut:
Pertama, Crypto sebagai Aset.
Kita ketahui bersama bahwa otoritas di Indonesia telah mengizinkan perdagangan Crypto sebagai aset seperti Bitcoin di bursa berjangka sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tentang Penetapan Daftar Aset Crypto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Crypto.
Walaupun perdagangan fisik aset Crypto dapat diperdagangkan di pasar fisik aset Crypto di Indonesia karena sudah memiliki kepastian dan ketentuan hukum, namun belum terdapat fatwa yang dikeluarkan dari otoritas fatwa (DSN) terkait kesesuaiannya dengan syariah namun telah dibahas dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9-11 November 2021 di Jakarta dengan hasil pembahasan diantaranya:
- Crypto sebagai komoditi/aset digital tidak sah (haram) diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah (barang) secara syar’i, yaitu: ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.
- Crypto sebagai komoditi/aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah (barang) dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas hukumnya sah (mubah) untuk diperjualbelikan.
Kedua, Crypto sebagai Alat Pembayaran.
Dari sisi regulasi hingga saat ini Crypto tidak dikategorikan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia karena tidak diterbitkan oleh otoritas (Bank Indonesia). Begitu pula sebagian ahli fikih mensyaratkan alat pembayaran (uang) itu harus memenuhi 2 (dua) kriteria yakni:
- Diterima oleh masyarakat luas
- Diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.
Hal tersebut selaras dengan definisi uang yang disampaikan oleh Sulaiman Al Mani dalam kitab Buhuts Fi Al Iqtishad Al Islami.
النَّقْدُ هُوَ كًلُّ وَسِيْطٍ لِلتَّبَادُلِ يَلْقَى قَبُوْلاً عَامًّا
“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum”
Demikian juga pengertian uang yang disampaikan oleh Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam kitab Al Mu’amalat Al Ma’liyah.
النَّقْدُ : مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوِ الْأَوْرَاقِ الْمَبْطُوْعَةِ وَ نَحْوِهَا, الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَةِ صَاحِبَةِ الْإِخْتِصَاصِ
“Naqd (Uang) adalah sesuatu yang dijadikan harga oleh masyarakat baik terdiri aras logam ataupun kertas yang dicepak maupun dari bahan lainnya yang diterbitkan oleh Lembaga Keuangan pemegang otoritas”.
Dengan demikian Crypto bukan termasuk kategori uang karena belum memenuhi unsur alat pembayaran yang sah yakni harus diterbitkan oleh otoritas dan memiliki underlying asset dengan fluktuasi harga yang dikendalikan oleh otoritas. Terlebih dengan potensi tempat pencucian uang, kenaikan sangat fluktuatif/tidak wajar, sarat dengan spekulatif dan ketidakjelasan.
Dalam Fikih, ketidakjelasan tersebut disebut gharar yang dilarang berdasarkan hadits Rasulullah Saw,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Saw melarang jual beli (yang mengandung gharar.” (HR Muslim)
Di samping itu, tidak dilindungi oleh otoritas bisa mendatangkan dharar (merugikan) yang harus dihindarkan, sehingga tidak ada perlindungan bagi konsumen. Sehingga dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 dihasilkan keputusan bahwa:
“Penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran (mata uang) hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015”.
Hukum Perusahaan Yang Menjadi Afiliasi Crypto
Sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa crypto memiliki 2 aspek hukum, ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang (haram).
Dalam Al-Qur’an Surah Al Maidah ayat : 2 disebutkan bahwa;
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”
Demikian juga dalam kaidah dijelaskan;
لِلْوَسَئِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Hukum sarana (perantara) suatu perbuatan sama dengan hukum perbuatannya”
Sehingga, hukum menjual atau menjadi perusahaan yang menjadi perantara pun hukumnya terbagi menjadi 2 (dua). Terhadap crypto yang masuk kategori diperbolehkan maka memiliki usaha crypto jenis ini atau menjadi afiliasi dan/atau perantaranya juga diperbolehkan atau halal.
Demikian juga sebaliknya, jika menjual crypto yang dihukumi haram, maka menjual ataupun menjadi afiliasi dan/atau perantara terhadap sesuatu yang haram maka hukumnya haram.
Para ulama kontemporer yang tergabung di "Majma" Fuqaha' bi Amrika" yakni perkumpulan pakar fikih di Amerika dalam konferensi ke-V di Bahrain pada tahun 1428 H merumuskan kaidah dalam hal tolong-menolong dalam hal yang dilarang (maksiat) menjadi 4 (empat);
- Mubasyarah Maqshudah (langsung dan ditujukan untuk maksiat), seperti seseorang yang memberikan khamr kepada orang lain dengan tujuan untuk diminum, hukum jenis ini adalah haram.
- Mubasyarah ghair Maqshudah (langsung tapi tidak ditujukan untuk maksiat), seperti menjual barang haram yang tidak ada kegunaannya untuk hal yang mubah, sekalipun tujuannya bukan untuk menolongnya berbuat maksiat, hukum jenis ini adalah haram. Seperti menjual rokok.
- Maqshudah ghair Mubasyarah (ditujukan untuk maksiat tapi tidak langsung), seperti seseorang yang memberikan orang lain uang agar dia membeli khamr, hukum jenis ini juga haram.
- Ghair mubasyarah wa la maqshudah (Secara tidak langsung dan tidak dimaksudkan untuk maksiat), seperti seseorang yang menjual barang yang dapat digunakan untuk perbuatan yang halal dan juga dapat digunakan untuk perbuatan yang haram dan penjual tidak bermaksud untuk membantu pengguna dalam perbuatan yang haram. Seperti menjual buah anggur – yang bisa digunakan untuk kebaikan, yaitu untuk makan dan juga bisa digunakan untuk membuat khamr yang memabukkan dan ini berdosa – kepada orang-orang biasa yang bukan pembuat khamr dan juga bukan pemasok bahan baku pabrik minuman keras. Ini adalah hukum halal.
Wallahu a’lamu Bish Shawab
Demikian saudara/iku, mudah-mudahan menjawab pertanyaan Anda. Semoga senantiasa dalam rahmat dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala..
Dijawab oleh Zuel Fahmi